Refleksi Penyelamatan Kawasan Ekosistem Batang Toru
- BS Putra/VIVA Medan
"Artinya itu salah satu sistem yang bisa kita angkat untuk mempertahankan lanskap Batang Toru. Hutan adat sebagai pengelolaan wilayah yang berkelanjutan itu menjadi salah satu intervensi yang menjadi fokus pekerjaan dari teman-teman di sana bersama dengan masyarakat adat di sana," katanya.
Pihaknya ingin mendorong adanya pertimbangan pemerintah untuk merevisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Sumatera Utara secara utuh yang memang mengedepankan perlindungan ekosistem Batang Toru.
"Kita mengharapkan tata ruang itu mengakomodir habitat spesies yang penting ini untuk menjadi perlindungan karena memiliki fungsi ekologi dan juga sekaligus upaya mitigasi terhadap bencana alam dan perubahan iklim," katanya.
Sementara itu, Manajer Program dan Tata Kelola Pengetahuan Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut), Fhiliya Himasari mengatakan, berbicara ekosistem Batang Toru, pihaknya bersama organisasi lainnya sudah mengadvokasi jauh sebelum 2016.
"Dari tahun 2016 saat Walhi Sumut mulai fokus mengadvokasi di lanskap ini, kita sudah menemukan adanya ancaman deforestasi akibat pembangunan PLTA. Dan tahun 2017 konflik meningkat Dari tahun 2016, ketika Walhi Sumatera Utara mulai fokus pada advokasi di lanskap ini, kita sudah menemukan ancaman deforestasi besar-besaran akibat pembangunan PLTA.
Pada tahun 2017, konflik mulai meningkat seiring dengan ditetapkannya spesies baru, orangutan tapanuli. Dikatakannya, advokasi yang dilakukan Walhi Sumut tidak hanya untuk membela satu spesies. Tetapi juga menyelamatkan ekosistem yang melibatkan masyarakat adat, flora dan fauna. Berlanjut hingga Walhi menggugat Gubernur Sumut karena mengeluarkan izin untuk PT NSHE dan kalah.
"Kepentingan kita itu bagaimana kita bisa mendorong hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal hak atas lingkungan hidup, hak lingkungan hidup itu tetap terjamin apa adanya," katanya.