Mereduksi Politik Identitas Sebagai langkah Peningkatan Kualitas Demokrasi

Anggota Bawaslu Kota Medan, Muh Fadly.
Sumber :
  • Istimewa/MEDAN VIVA

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, bisa ditemukan dalam kitab Sutasoma karya MPU Tantular yg ditulis pada Abad XIV pada era kerajaan maja pahit. Dengan itu, politik identitas bertolak belakang dengan Bhinneka Tunggal Ika. Dimana, politik identitas bersatu untuk menjadi kelompok yang berbeda dari masyarakat secara umum.

Berantas Kejahatan Lingkungan, Polri Komitmen Sikat Habis Tambang Minyak Ilegal

Fenomena politik identitas belakangan ini menonjol dalam politik modern, dan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas demokrasi. Hal ini, akan mempengaruhi kedewasaan politik di tanah air.

Francis Fukuyama, seorang filsuf dan ilmuwan politik, berpendapat bahwa politik identitas adalah hasil dari kegagalan liberalisme dalam memenuhi kebutuhan spiritual dan moral manusia. Fukuyama menekankan pentingnya menciptakan identitas nasional yang inklusif untuk mengatasi politik identitas yang memecah belah masyarakat. 

BRI Tindak Tegas dan Laporkan Pegawai Terlibat Korupsi KUR di Kutalimbaru, Dukung Kejari Medan

Sedangkan menurut Eric Kaufmann, seorang sosiolog dalam bukunya "Whiteshift: Populism, Immigration, and the Future of White Majorities" berpendapat bahwa politik identitas dipicu oleh perubahan demografis dan kebangkitan kelompok minoritas. Kaufmann menekankan bahwa identitas nasional harus mengakomodasi keragaman untuk mempromosikan integrasi sosial dan politik.

Politik Identitas dalam praktiknya tentu akan menjadi suatu problematika yang berpotensi merugikan dan mereduksi kualitas demokrasi di Indonesia, karena dalam politik identitas, yang membuat seseorang memenangkan pentas demokrasi bukanlah visi misi dan programnya. adapun efek yang dapat disebabkan oleh Politik Identitas adalah sebagai berikut:

KPU Batasi Pendukung Kedua Paslon Masuk ke Lokasi Debat Ketiga Pilgub Sumut 2024

Pertama, politik identitas dapat memperkuat polarisasi politik. Hal ini terjadi ketika partai atau kelompok politik menggunakan identitas sebagai alat untuk memobilisasi dukungan, dan secara efektif membagi masyarakat menjadi kelompok yang saling berlawanan.

Akibatnya, diskusi politik sering kali dipenuhi dengan retorika yang keras dan provokatif, serta mengabaikan perdebatan yang sehat dan produktif. Konflik antara kelompok yang berbeda dapat menimbulkan ketegangan dan kekerasan, serta menghambat kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses demokratis.

Halaman Selanjutnya
img_title