Putusan Janggal, Gegara Tagihan Rp 746 Juta, PT Hutahaean Miliki Aset Setengah Trilliun Dipailitkan
- BS Putra/MEDAN VIVA
VIVA Medan - Kuasa Hukum PT Hutahaean akan mengajukan kasasi atas putusan majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, mempailitkan perusahaan tersebut, karena memiliki tagihan hutang sebesar Rp 746 juta. Namun, PT Hutahaean memilliki aset perusahaan mencapai setengah triliun rupiah. Kemudian, berniat untuk membayarkan tagihan tersebut.
"Kami telah menempuh upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Kami menduga putusan Pailit terhadap PT Hutahaean adalah suatu hal yang sangat berlebihan dan terburu-buru," kata kuasa hukum PT Hutahaean, Ranto Sibarani dalam jumpa pers Sabtu malam, 15 Juli 2023.
Didampingi timnya, Kamaruddin Pane. Ranto menjelaskan bahwa Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Medan menyatakan PT Hutahaean Pailit, setelah sebelumnya dinyatakan dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara, pada 27 Januari 2023 lalu.
Putusan Pailit yang dibacakan pada 10 Juli 2023 itu, dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Ulina Marbun didampingi Firza Andriansyah dan Fahren masing-masing sebagai hakim anggota.
"Putusan itu hanya akan mencoreng sistem Peradilan, karena saat ini PT Hutahaean dalam keadaan baik-baik saja, seluruh operasional usaha masih berjalan dengan baik, posisi keuangan dalam keadaan baik dan profit," tutur Ranto.
Menurutnya, PT Hutahaean yang mempekerjakan lebih dari 2.000 karyawan itu dalam keadaan baik-baik saja dan tidak patut dinyatakan pailit hanya karena perkara tagihan Rp746 juta. Bahkan, sambung Ranto Sibarani, pihaknya sebenarnya telah menandatangani dan setuju untuk membayarkan tagihan tersebut yang telah dituangkan dalam Proposal Perdamaian pada tanggal 3 Juli 2023, di hadapan Hakim Pengawas Dahlia Panjaitan.
"Proposal perdamaian tersebut telah kami tandatangani di hadapan Hakim Pengawas pada saat Rapat Kreditor pada tanggal 4 Juli 2023, dan turut ditandatangani oleh Kuasa Hukum seluruh Kreditor, dan turut pula ditandatangani oleh Tim Pengurus," sebutnya.
Namun, lanjut dikatakan Ranto, entah bagaimana, majelis hakim pada saat membacakan putusannya menyatakan bahwa mereka tidak menerima proposal perdamaian tersebut dari Hakim Pengawas Dahlia Panjaitan.
"Seharusnya majelis hakim meminta proposal perdamaian tersebut sebelumnya dari Hakim Pengawas, karena masa 270 hari untuk mencapai perdamaian. Nah, kami menilai hal ini belum terpenuhi sebagaimana Pasal 228 Ayat 6 UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan,” jelasnya.
Karena itu, menurutnya, putusan Pailit terhadap PT Hutahaean adalah sesuatu yang sangat terburu-buru dan bertolak belakang dengan fakta yang ada.
"Kami menduga bahwa putusan Pailit tersebut dikarenakan pihak PT Hutahaean menolak membayar biaya dan jasa Tim Pengurus sebesar Rp2,5 miliar yang rinciannya untuk biaya Tim Pengurus sebesar Rp1 miliar dan untuk biaya jasa Tim Pengurus Rp1,5 miliar," sebut Ranto Sibarani.
Sebab, kata Ranto, bahwa dengan tagihan sebesar Rp746 juta, sangat berlebihan jika Tim Pengurus meminta biaya sebesar Rp2,5 miliar.
"Kenapa jumlah biaya pengurus lebih besar daripada jumlah tagihan. Oleh karena itu, sebenarnya perkara kepailitan terhadap PT Hutahaean ini sangat janggal dan tidak berdasar," tegasnya.
Menurutnya, pihak PT Hutahaean telah mempertanyakan biaya Pengurus sebanyak 2 kali yakni pada tanggal 17 April 2023 dan 3 Juli 2023. Namun, Tim Pengurus baru memberikan jumlah biaya Pengurus pada tanggal 6 Juli 2023 yang ditandatangani oleh Tim Pengurus yakni Benyamin Purba, Josua Nainggolan, Eriksoni Purba, dan Fransisco Samuel Halomoan Purba.
“Tanggal 6 Juli 2023 lalu, Tim Pengurus memberitahukan jumlah untuk biaya pengurus sebesar Rp2,5 miliar, dan pada tanggal 10 Juli 2023, majelis hakim memutuskan PT Hutahaean dalam keadaan Pailit, tentulah waktu yang sangat pendek tersebut sangat mencurigakan. Jika dihubungkan dengan biaya dan jasa Tim Pengurus yang sangat besar tersebut,” jelasnya.
Oleh karena, Ia menilai bahwa majelis hakim yang menangani perkara dengan nomor 2/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Mdn itu diduga mengabaikan niat baik PT Hutahaean dalam membayarkan tagihan Kreditor dan mengabaikan proposal perdamaian yang telah ditandatangani oleh Debitor, Kreditor dan Tim Pengurus. Bahkan, PT Hutahaean telah setuju memberikan tagihan kepada para pemohon yang merupakan mantan karyawan PT Hutahaean.
"Kita telah mau memberikan uang tagihan kepada para pemohon senilai Rp1 miliar beserta uang jasa pengurus, namun pengurus tidak mau terima," sebutnya.
Artinya, lanjut Ranto, majelis hakim tidak mempertimbangkan biaya dan jasa imbalan Tim Pengurus yang jumlahnya tidak masuk akal jika dibandingkan dengan jumlah tagihan kreditor dalam perkara tersebut.
"Padahal Permenkumham Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 6 jelas mengatur bahwa imbalan jasa pengurus tersebut paling besar 7,5% dari jumlah yang harus dibayarkan, namun angka yang ditagihkan Tim Pengurus sangat tidak masuk akal,” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya menghimbau kepada para supplier, rekanan bisnis, konsumen dan seluruh karyawan PT Hutahaean untuk tidak kuatir terhadap putusan Pailit tersebut.
"Kami menjamin seluruh pembayaran terhadap kewajiban perusahaan tidak akan pernah terlambat untuk dibayarkan. PT Hutahaean dalam keadaan sehat dan baik-baik saja dengan aset perusahaan yang nilainya mencapai triliunan dan jumlah karyawan lebih dari dua ribuan, sangat tidak pantas untuk kuatir dengan keadaan Pailit dengan tagihan hanya Rp746 juta," kata Ranto Sibarani.
Terkait besarnya biaya dan jasa Tim Pengurus yang dinilai tak sesuai dengan Permenkumham Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 6, Ranto menegaskan bahwa pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu.
"Kami akan mempelajari terlebih dahulu, apakah wajar Tim Pengurus mengajukan biaya dan jasa imbalan yang sangat besar seperti ini? Oleh karenanya kami akan mempertimbangkan untuk mengambil langkah melaporkan ini ke Komisi Etik Kurator," tegasnya.
Selain itu, tegas Ranto, pihaknya juga akan mempelajari terkait putusan Pailit terhadap PT Hutahaean yang diberikan majelis hakim yang diketuai Ulina Marbun.
"Kami juga sedang mempelajari putusan Pailit tersebut. Sebab menurut kami, putusan itu terkesan terburu-buru. Apakah ada hubungannya dengan jumlah biaya pengurus yang sangat besar tersebut? Jika kami menemukan ada hubungannya dengan putusan Pailit ini, kami akan melaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan ke Pengawasan Hakim di Mahkamah Agung," jelas Ranto.