Pemilu 2024 Pakai Sistem Proporsional Tertutup Dinilai Langkah Mundur
VIVA - Anggota Tim Ahli Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Henry Indraguna menegaskan, bila Sistem proporsional tertutup pada pemilihan umum (Pemilu) 2024 dikabulkan, akan menjadikan sebuah langkah mundur politik bangsa ini.
"Apabila kembali kepada sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya. Karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih berdasarkan nomor urut teratas yang ditentukan oleh parpol,” ujar Henry kepada wartawan, melansir viva.co.id, Sabtu 31 Desember 2022.
Selain itu, kata Henry, yang akan muncul justru kader-kader di atas yang dekat dengan pimpinan partai politik (Parpol) dan tidak mengakar ke rakyat. Sehingga, akhirnya oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri.
“Dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka, resepnya dekat kepada pimpinan partai. Dekat kepada rakyat tidak penting, yang penting branding partai tetap kuat di dapil,” terang Henry.
Baca juga:
- Ketua KPU: Ada Kemungkinan, Pemilu 2024 Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup
- Dave Golkar: Oligarki Akan Menguat Jika Pemilu 2024 Proporsional Tertutup
Menurut Henry, dengan sistem proporsional tertutup calon anggota legislatif (caleg) dengan nomor urut 2 dan seterusnya justru tak memiliki kesempatan untuk terpilih. Sehingga, kata dia, hal ini menjadi kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Cukup hanya tokoh utama partai yang berkampanye keliling. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Kasihan caleg no 2 yang kerja keras mungkin tidak terpilih. Sementara nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih,” ucapnya.
Dengan sistem proporsional tertutup, sambung Henry, pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat atau calon legislator. Dalam sistem ini, kandidat dipersiapkan langsung oleh partai politik.
Dalam sistem tersebut, ujar Henry, masing-masing partai politik telah menentukan terlebih dahulu siapa yang akan memperoleh kursi yang dialokasikan kepada partai tersebut dalam pemilu.
Sehingga calon yang menempati urutan di atas dalam daftar ini cenderung selalu mendapat kursi di parlemen. Kata Henry, hal ini yang menjadi pembeda dengan sistem proporsional terbuka. Karena masyarakat memiliki peluang untuk memilih langsung wakilnya.
“Marilah kita tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, yang tetap memberikan peluang bagi rakyat untuk memilih langsung wakilnya. Janganlah hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri, dengan mundur ke sistem proporsional tertutup,” tegas Henry.
{{ photo_id=68 }}
Henry juga tak menampik munculnya kritik terhadap sistem proporsional terbuka yang dinilai mengakibatkan biaya politik tinggi, karena persaingan antar calon di dalam partai. Bahkan, kata Henry, ada yang mengaitkannya dengan politik uang. Padahal politik uang tidak berasal dari sistem pemilu, tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elit itu sendiri.
Namun sebenarnya, lanjut Henry, jika soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang bisa menggunakan medsos secara gratis.
“Yang jelas, sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota parlemen yang akuntabilitasnya kuat kepada rakyat. Kalaupun sudah terpilih, tidak ada jaminan dia bisa terpilih kembali, biarpun dapat nomor urut 1. Tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat,” tutur Henry.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari mengatakan ada kemungkinan pemungutan suara Pemilu 2024 nanti dilakukan dengan sistem proporsional tertutup atau memilih partai bukan caleg.
"Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," kata Hasyim dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis, 29 Desember 2022.