Miris! Jalan Sekitar Perkebunan di Sumut Memperihatinkan, Ini Kata Dedi Iskandar

Anggota DPD RI, Dedi Iskandar Batubara.
Sumber :
  • Istimewa/VIVA Medan

VIVA Medan - Anggota DPD RI asal Sumatera Utara, Dedi Iskandar Batubara menyoroti kondisi jalan umum yang berada di sekitaran kawasan perkebunan, kelapa sawit khususnya, banyak mengalami kerusakan cukup parah dan menghambat mobilitas masyarakat sekitar.

Pedagang Curhat ke KPPU Bawang Putih Masih Mahal, Sebabkan Penjualan Menurun Drastis

Atas hal itu, Dedi Iskandar Batubara meminta pemerintah memperhatikan hal itu, dengan memaksimalkan anggaran sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38/2023 tentang Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan Sawit.

"Beberapa kali melintasi jalan yang berada di sekitar kawasan perkebunan, baik milik Negara maupun swasta, kita mendapati bahwa kondisinya mengalami rusak parah," ucap Dedi, kepada wartawan, Rabu 31 Januari 2024.

Harkitnas 2024, Pj Gubernur Sumut Terus Dorong ASN Beri Pelayanan Terbaik

Dedi Iskandar mengungkapkan setelah melihat kondisi jalan rusak di beberapa tempat, terutama yang berada atau terhubung dengan kawasan perkebunan kelapa sawit. Ia menyebutkan Sumut masuk dalam 10 besar provinsi dengan luas lahan terbesar di Indonesia, setelah Riau (3,49 juta Ha), Kalteng (2,03 Juta Ha) dan disusul Sumut (2,01 Juta Ha) berdasarkan data laporan Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2021-2023, Kementerian Pertanian (Kementan).

“Padahal jalan itu menghubungkan satu desa dengan desa lain, atau antar kecamatan hingga antar kabupaten di Sumatera Utara. Terakhir kali pekan lalu, ada di Kecamatan Silau kahean, Kabupaten Simalungun, yang terhubung dengan Kabupaten Serdang bedagai,” jelas Dedi Iskandar.

Maju di Pilgub Sumut 2024, Bobby Nasution Ambil Formulir ke PAN

Dedi Iskandar juga menyinggung tentang keberadaan PP 38/2023 tentang DBH Perkebunan Sawit, dimana dari aturan tersebut, 20 persennya diberikan kepada Pemerintah Provinsi, kemudian 60% kepada Pemerintah Kabupaten dan 20% untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil sawit. Dengan Pagu DBH Sawit ditetapkan paling rendah sebesar 4% dari penerimaan negara, yang ditetapkan Dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

“Sebenarnya PP ini terbilang baru, diundangkan dan berlaku efektif 24 Juli 2023. Tentu harus dilaksanakan secara maksimal. Soal kemudian akan ada evaluasi, apakah ini efektif atau tidak itu belakangan. Tetapi memang yang menjadi masalah sebenarnya, jumlah besaran yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat,” jelas Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI ini.

Sebagaimana berdasarkan PP tersebut lanjut Ketua PW Al Washliyah Sumut ini, di provinsi ini terdapat lahan perkebunan kelapa sawit yang luas, sehingga bisa mendapatkan DBH yang lebih besar untuk bisa menyelesaikan infrastruktur jalan, sebagai indikator penentuan besaran rincian alokasi. Termasuk juga produktivitas lahan serta yang ditetapkan oleh menteri.

“Saya juga melihat bahwa perlu ada komitmen antara PTPN dan pemerintah daerah termasuk provinsi, untuk sama-sama memikirkan. Karena yang menggunakan jalan itukan bukan hanya pihak perkebunan, tetapi masyarakat yang tinggal di wilayah seputar perkebunan yang menggunakan jalan itu sebagai akses mobilitas mereka memabwa hasil bumi/pertanian dari kampungnya,” jelas Calon DPD RI dapil Sumut nomor urut 7 pada Pemilu 2024 ini.

Selain itu, Dedi Iskandar Batubara mengungkapkan fakta bahwa banyak kendaraan yang melewati batas muatan atau tonase, melintasi jalan di sekitaran perkebunan. Akibatnya jalan yang sudah diaspal, menjadi rusak akibat beban berlebih atau tidak berimbang dengan kekuatan jalan.

“Karenanya saya fikir, perlu dikoordinasikan secara komprehensif, antara pihak perkebunan dengan pemerintah daerah agar akses jalan yang digunakan oleh orang banyak, termasuk perusahaan perkebunan, itu dalam kondisi yang laik. Kan lucu, misalnya jalur yang harusnya bisa kita tempuh dengan waktu singkat, menjadi lama karena jalannya rusak parah,” terang Dedi.

Ia pun mengibaratkan kerusakan jalan yang mengganggu mobilitas masyarakat, seperti pepatah ‘Tikus Mati di Lumbung Padi’, dimana hasil perkebunan sawit oleh para pemiliknya, baik swasta maupun milik negara, mendapatkan keuntungan besar. Sementara rakyat yang hidup di sekitar perkebunan itu, justru jalan yang menjadi akses utama bagi mereka, kondisinya tidak baik.