Dakwaan JPU Kasus Korupsi APD Covid-19 Dinkes Sumut Dinilai 'Ngawur Bin Ngaco'
- Istimewa/VIVA Medan
VIVA Medan - Pakar Hukum Pidana Indonesia, Dr Chairul Huda, SH MH ikut bersuara ihwal kejanggalan kasus dugaan korupsi Pengadaan Penyediaan Sarana, Prasarana Bahan dan Peralatan Pendukung Covid 19 berupa Alat Perlindungan Diri (APD) di Dinas Kesehatan Sumatera Utara Tahun Anggaran 2020.
Salah satunya menyoal tidak dilakukannya audit kerugian keuangan negara dari lembaga berwenang yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas kasus dimaksud.
"Undang-undang menetapkan bahwa audit kerugian keuangan negara itu kewenangan BPK. Dari sisi hukum pidana adalah menjadi alat bukti utama untuk membuktikan kerugian keuangan negara. Jadi sebenarnya tidak usah panjang lebar, kalau tidak ada audit BPK atau BPKP, tentu tidak terdapat alat bukti kerugian keuangan negara dari lembaga berwenang," ucap Chairul kepada wartawan, Senin kemarin 10 Maret 2025.
Chairul mengaku baru menjadi keterangan ahli atas dugaan perkara korupsi Pengadaan Smart Airport dan Smart Parking Airport di Bandara Internasional Kualanamu Tahun 2017 PT. Angkasa Pura II (AP2), di PN Medan, Senin 10 Maret 2025.
dr Aris Yudhariansyah merupakan salah satu terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan APD di Dinkes Sumut TA.2020, dan dia divonis empat tahun penjara oleh Majelis Hakim yang diketuai Sarma Siregar pada hari yang sama.
Dr Chairul Huda mengilustrasikan, jika seseorang menemukan mayat di pinggir jalan, siapakah pihak yang berwenang menentukan penyebab kematiannya. "Ada tidak dukun yang bisa menentukan sebab kematiannya apa? Pasti dokter yang menentukan, kan gitu. Sama halnya dengan kasus tersebut, tentulah lembaga berwenang yang berhak menentukan adanya kerugian keuangan negara," tegasnya.
Staf Ahli Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini lantas menekankan, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) atas kasus yang menjerat dr Aris tersebut, tentu tidak bisa dibuktikan dasar dakwaannya. Secara umum, kata dia, sebenarnya jaksa tidak mempunyai alat bukti yang cukup untuk membuktikan adanya kerugian keuangan negara.
"Artinya, dakwaan tersebut itu hanya khayalan jaksa saja, tidak dibuktikan melalui alat bukti yang sah. Bahwa prinsip dasar dalam pembuktian pasal 2 dan pasal 3 sebagaimana dakwaan JPU, harus didasarkan pada pembuktian kerugian keuangan negara oleh lembaga berwenang yaitu BPK," tegasnya lagi.
Ia menyebut jika pihak yang mengaudit kerugian keuangan negara tidak dari lembaga tidak berwenang, seperti Kantor Akuntan Publik, maka itu tidak bisa menjadi dasar alat pembuktian yang sah.
"Bahwa dari sisi hukum pidana tidak bisa diterima pembuktian yang seperti itu. Ini saya berbicara dari kerangka ideal ya, bahwa seharusnya tidak bisa diterima pembuktian dari pejabat atau lembaga yang tidak berwenang. Inilah kalau audit dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang. Jadi ngawur bin ngaco. Asal saja kerjanya sesuai yang menugaskan dia melakukan audit. Terus dicari-carilah kerugian keuangan negara itu," paparnya.
Dr Chairul berpendapat hal ini menunjukkan kegagalan bahwa perkara seperti ini harus dibawa ke pengadilan, sementara masih banyak perkara korupsi lain yang sebenarnya merugikan keuangan negara terjadi di republik ini. Terlebih dalam kondisi force majeure yakni pandemi Covid-19 saat itu, bahwa nyawa seseorang banyak berhenti efek dari virus Corona. Sedangkan pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelamatkan jiwa rakyatnya.
"Boleh jadi kenapa dia pakai Kantor Akuntan Publik karena BPK dan BPKP-nya menolak melakukan audit. Sehingga sangat dicari-cari untuk kemudian dijadikan kasus korupsi dibandingkan apa yang dianggap merugikan keuangan negara. Kita bisa melihat dan mengkritisi dari sisi itu. Ini menunjukkan pemberantasan kasus korupsi di negeri ini tidak pada arah yang benar," pungkasnya.