Warga Desak BWSS II Segera Bayarkan Ganti Rugi Lahan Terdampak Proyek Bendungan Lau Simeme

Penasehat Aksi Damai Lau Simeme DAM, Julianus Ginting.
Sumber :
  • Istimewa/VIVA Medan

VIVA Medan - Warga yang memiliki lahan dam terkenda dampak proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Lau Simeme di Kecamatan Sibirubiru, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, menuntut ganti rugi lahan kepada Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II.

Pendaftar PPK Pilkada Serentak 2024 di Sumut Tercatat 8.921 Orang

Pasca proyek bendungan ini mulai dioperasikan, banyak dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar. Salah satunya adalah terserapnya lapangan pekerjaan baik di sektor riil dan non riil. 

Kondisi saat ini proyek Bendungan Lau Simeme tidak aktivitas konstruksi, akibat adanya protes dari warga yang lahannya terdampak pembangunan Bendungan Lau Simeme dengan memblokir akses pintu keluar masuk kendaraan alat berat. 

Reuni Akbar ke-33, STOK Bina Guna Perkenalkan Prodi Baru Satu-satunya di Sumut

Penasehat Aksi Damai Lau Simeme DAM, Ir Julianus Ginting, yang ditemui di tempat tinggalnya di Jalan Besar Sibirubiru mengaku bahwa pemerintah pusat dalam hal ini, BWSS II gagal menepati janji pembayaran ganti rugi lahan kepada warga. 

"Tanggal 4 Desember 2023 disepakati antara semua pihak bahwa lahan warga yang terdampak proyek Bendungan Lau Simeme akan dibayarkan gantirugi sampai batas akhir 28 Februari 2024. Tapi sampai sekarang belum ada tindaklanjutnya. Jadi wajar dong kalau warga menutup akses jalan itu! Karena lahan mereka yang terdampak proyek belum juga dibayarkan ganti rugi lahannya," ucap Julianus kepada wartawan, Jumat 15 Maret 2024.

Bakal Lawan Edy Rahmayadi dan Bobby Nasution di Pilgub Sumut 2024, Ijeck: Bersaing Secara Sehat

Julianus menambahkan, dari data yang mereka miliki ada 141 warga pemilik lahan yang terdampak proyek Bendungan Lau Simeme. Dan jika ditotalkan dari seratusan warga tersebut, sekitar 480,02 hektar lahan warga yang kini tak bisa lagi digunakan untuk bercocok tanam maupun berladang. 

"Di sini masyarakat hanya mempertahankan haknya (menutup akses jalan). Tidak ada (berbuat) anarkis, hanya mempertahankan haknya. Seharusnya, pemerintah selesaikan dulu hak masyarakat, baru bekerja. Supaya gak terjadi hal-hal seperti ini. Sekarang ini kan masing-masing dirugikan. Masyarakat gak bisa gunakan lahannya untuk berladang karena sudah rusak, pemerintah proyeknya jadi gak berjalan karena akses jalan keluar masuk diturup warga," imbuhnya. 

Halaman Selanjutnya
img_title